Aku menahan diriku atasmu, karena… (Very Late post)

Aku menahan diriku atasmu karena aku begitu menyayangimu. Sungguh, dengan begini Allah menguji ku. Menguji aku yang sudah memutuskan untuk melabuhkan hati padamu. Bukan keputusan mudah, dan bukan pula keputusan biasa. Ini tentang hidup, ini tentang kesediaan menanggung segala resiko, ini tentang keyakinan.

Bukan aku yang datang padamu. Engkau yang menawarkan diri padaku, dan dengan sepenuh keberanian, dengan entah kekuatan mana yang meneguhkan punggungku untuk berkata “ya”. Dan perlahan hati ini mulai ku buka, ruangan yang tak seorang pun pernah ku izinkan untuk menginjaknya, telah bebas kau jelajah.

Bukan sekali ketidakyakinan hadir, ratusan kali. Dengan sepenuh kekuatan ini aku bertahan. Berpegang keyakinan dan harapan, bahwa kau pun akan bertahan dalam kondisi yang sama. Namun ternyata aku salah. Bukan aku yang menggenggam hati, bukan aku yang mampu membolak-balikkan hati. Sekuat-kuatnya aku mempertahankan hatiku, ternyata aku tidak sanggup mempertahankan hatimu, pun membuatmu mampu mempertahankan hatimu.

Dengan begini lah, Allah menguji rasa cinta. Bukan dengan ujian biasa, namun dengan ujian paling berat bagi seorang pecinta, yakni kehilangan kecintaannya. Mencintai sendiri. Membuatku bergeming, terhenyak, sejenak sesak, limbung, kehilangan arah. Engkau yang dulu ada, senyummu yang dahulu selalu sedia, kini lenyap, bersama rasa di hatimu yang sekejap tiada.

Dengan begini Allah mengajariku tentang mencintai. Tentang rasanya ditinggalkan. Tentang sakitnya mencintai sendiri. Dengan cara-Nya, Allah menegurku. Bahwa aku sudah terlalu mencintaimu. Tidak kah kau pernah menyadari, aku pernah menangis di punggungmu. Sebegitu bersyukurnya aku karena kau telah hadir dalam hidupku, sekaligus mengasihani diri atas ketidakmampuanku yang masih berbatas untukmu. Aku yang diam-diam dengan sekuat tenaga dan hati menahan diri untuk tidak memelukmu saat menatap mata sendumu, saat menangkap butir-butir kesedihan dan beban hati di balik punggungmu, tuk tunjukkan betapa kasihku padamu. Yang diam-diam menggenggam dada sendiri, saat debar tak lagi damai kala bunyi nafasmu tertangkap dengar, saat hangat punggungmu diam-diam menjalar. Saat aku mulai belajar untuk menerimamu apa adanya dirimu. Kekuatanmu, kelemahanmu, diammu, tegasmu, kerasmu, kegalauanmu, kesedihanmu, beban pikirmu, ketidakpedulianmu, kecerdasanmu yang saking cerdas begitu pandainya engkau menyusun kalimat menusuk hati, senyum hangatmu, bau keringatmu, tatap sendumu, hangat punggungmu, yang dengan hanya berdiri di sampingmu aku merasa aman.

Aku tidak tahu denganmu, bagiku cinta bukan perkara yang mudah. Memutuskan untuk mulai mencintaimu menjadi perkara dunia akhirat bagiku. Memutuskan mencintaimu adalah setara pemenuhan kewajibanku atas perintah Allahku. Jika Allah tidak mengizinkan aku mencintaimu, maka sudah pasti Dia akan mencabut rasa ini dari dulu.

Kemudian, Allah membuat cerita baru dengan perlahan menanamkan ragu yang sama padamu, perlahan mencabut rasa-rasa yang pernah kau jaga untukku. Hingga akhirnya kau putuskan untuk meninggalkan aku. Ya, Allah cemburu menyadari keberadaan hatiku yang terlalu mencintaimu. Dia memperingatkan aku akan rasanya ditinggalkan, akan rasanya cinta tak berbalas. Allah mencintaiku, namun aku terlalu mencintai mahluk-Nya yang lain.

Sungguh aku mencintaimu, namun ternyata ketakutanku atas Allah meninggalkan kita lebih besar daripada ketakutanku atas kau yang meninggalkan aku. Jika Allah mengizinkan engkau mencintaiku kembali, maka mudah bagi-Nya meniupkan kembali rasa itu padamu seberapa keras pun kau tepis. Jika Allah mengizinkan engkau adalah jodohku, maka aku yakin skenario yang Dia pilihkan adalah skenario terbaik dari apapun yang pernah kita bayangkan. Dan tak ada satu hal pun yang perlu aku khawatirkan. Tugasku hanyalah mencintaime sebaik mungkin.

Leave a comment