Fenomena kita.. :)

Dunia itu lucu. Disaat kita inginkan perbaikan besar-besaran di sektor real, ternyata dari sektor personal masih banyak hal yang harus kita perbaiki. Cara kita beribadah misalnya. Tulisan kali ini langsung menjurus kepada umat muslim yang saya dengan ini menjadi salah satu bagiannya. Saya seorang muslim.

Setiap muslim pasti paham tentang konsekuensi kemuslimannya, salah satunya atas kewajiban sholat yang secara otomatis terbebankan padanya sebagai wujud keimanan, ketaqwaan, dan kecintaan kepada Tuhan dan Dien-nya, Islam. Dan “sayangnya” ternyata islam sudah mengatur selengkap-lngkap dan sesempurna-sempurnanya urusan umatnya. Dari bangun tidur sampai ke tidur dan tidurnya skalipun. Dari hal yang paling besar hingga hal yang paling kecil. Dari tembok-tembok paling tebal hingga selaput-selaput paling tipis. Semua telah diatur dalam ranah kesempurnaan Islam, dengan wasiat utama Alqur’an dan Sunnah!

Entah kita lupa atau tidak, dalam setiap aturan pokok akan ada aturan-aturan penunjang yang berlaku. Hmmm, mungkin pendahuluan saya terlalu rumit dan bertele-tele, saya berikan contoh real saja:

Ada beberapa kejadian menarik waktu saya sholat berjama’ah di beberapa tempat yang melibatkan masyarakat yang mngatasnamakan diri sebagai muslim. Kejadiannya beberapa waktu yang lalu :

Episode 1

Waktu itu saya sedang menunaikan sholat magrib berjama’ah di masjid Fathullah, Ciputat. Ada seorang ibu setengah baya menggelar sajadahnya di depan. Saya yang kebetulan waktu itu berada di shaf kedua menunggu shalat berjama’ah dimulai. Pas waktu iqamat berkumandang, para jama’ah mulai merapihkan shaf. Karena shaf yang di depan saya (di sebelah si ibu) masih kosong, maka saya berinisiatif menutup bolong shaf tersebut. Dan majulah saya ke depan, di sebelah ibu tersebut. Karena shaf menjadi cukup rapat, secara langsung, sadar dan tidak sadar, kaki saya menginjak sajadah ibu tersebut.

Just info, ketika sholat kaki saya terbuka selebar bahu dan tidak merapat (masing-masing orang memiliki hujjahnya sendiri, tafadhal). Saya melebarkan kaki juga bermaksud untuk merapatkan shaf, karena si ibu malah bergeser dan “menciutkan” badan. Nah! Ketika si Ibu tahu bahwa kaki saya mnginjak sajadah beliau, tiba-tiba si ibu bilang “Kalau sholat, tidak boleh menginjak sajadah orang lain!”. Kemudian si ibu melipat ujung sajadahnya agar tidak terinjak kaki saya, dan membiarkan saya melongo dan hampir-hampir tak kuat untuk bertanya balik akan banyak hal. Dalilnya lah, sirah nya lah, kata siapa lah, dan lain-lain plus “ceramah” dadakan tentang keutamaan merapatkan shaf yang perlu ibu ini ketahui.

Sayangnya, tenggorokan saya tercekat mengingat dua hal : Si ibu yang sudah tua dan seharusnya saya hormati tanpa konfrontasi dan Takbiratul ihram yang sudah bergema.

Episode 2

Kali ini saya sedang sholat berjama’ah di kantor. Alhamdulillah di kantor saya, shalat berjama’ah merupakan rutinitas yang diaplikasikan dengan sangat baik. Suatu waktu, kantor kami kedatangan peserta pelatihan di salah satu divisi. Lumayan banyak waktu itu. Saya shalat dzuhur dan sunnah qobla dan ba’diah seperti biasa.

Waktu itu kebetulan saya berada di ujung sisi shaf pertama, tapi disebelah saya masih ada ruang untuk jama’ah yang tersisa. Tiba-tiba, pada rakaat ke dua masuklah seorang jama’ah yang masbuk merapat di sisi kanan. Tapi (saya beristigfar banyak-banyak atas ketidakkhusu’an sholat saya) konsentrasi/kekhusu’an sholat saya tiba-tiba buyar karena suatu hal.

Si mbak yang menyambung shaf tiba-tiba ruku’ sebelum takbir imam. Awalnya saya berpikir si mbak ini sedang sholat sendiri. Tapi keanehan berlanjut, ketidakkhusu’an sholat saya pun ikut berlanjut. Si mbak sholat kilat dua rakaat, menyusul instruksi imam, ternyata. Ini sungguh sangat mengganggu saya, ingin secepatnya mengingatkan bahwa caranya masbuk sholat itu bukanlah “ngebut” ngejar raka’at imam seperti tadi., ada aturan yang lebih cantik lagi.

Episode 3

Kali ini, waktu saya sedang very late lunch bersama sahabat di salah satu cafe steak di daerah cempaka putih. Karena selesai makan dan cengkrama bertepatan dengan datangnya waktu magrib, maka kami memutuskan untuk sholat dulu sebelum pulang. Beranjaklah kami menuju mushola.

Sampai di mushola, disana ada 3 orang ibu-ibu setengah baya, 1 pemudi dan seorang pemuda. 3 orang Ibu-ibu tersebut sedang melaksanakan sholat magrib di bagian pojok mushola, sehingga bagian paling belakan hampir penuh. Sementara pemuda sepertinya telah mengambil wudhu, namun sedang menunggu sesuatu. Kemungkinan sedang menunggu pemudi yang satu lagi yang sedang menenunggu mukena dari ibu-ibu yang sedang sholat tadi, pemudi ini mengenakan kerudung, tapi memakai pakaian biasa sehingga untuk sholat idealnya menggunakan mukena.

Karena tidak mengetahui kondisi tersebut, kami (yang waktu itu bertiga, 1 orang lagi laki-laki, dan 2 orang perempuan) yang juga sudah selesai wudhu bersiap diri untuk shalat berjamaah. Teman saya yang laki-laki mengambil posisi paling depan, sebagai imam, dan kami pun mengambil posisi agak merapat ke depan karena bagian belakang ruangan sudah hampir penuh dengan jama’ah (mushola yang tersedia tidak luas, sekitar 4 x 5 meter).

Mulailah kami sholat berjamaah, bertiga. Sholat berjalan biasa saja, yang menarik setelah sholat, saya pun baru sadari waktu salah seorang ibu yang awalnya tadi sholat menanyakan sesuatu setelah saya menyadari sesuatu. Pemuda tadi seharusnya sudah siap sholat tapi menunggu pemudi mendapatkan mukena medirikan jama’ah sholat yang baru. Jadi selama kami sholat, si pmuda hanya duduk menunggu.

Maksudnya saya begini, mngapa tidak ikut saja sholat berjama’ah? Mengapa harus menunggu wanitanya mendapatkan mukena dulu dan mendirikan jama’ah sholat yang baru agar bisa mengimami si pemudi? Bukankah pemudi tersebut bisa masbuk, setelah mendapatkan pinjaman mukena? Bukankah pahalanya tetap terhitung jama’ah? Jika tidak ada yang sedang mndirikan jama’ah waktu itu pun bisa saja seharusnya disambungkan sehingga menjadi jama’ah bukan? Lalu mengapa pula harus mendirikan jama’ah sholat yang baru?. Spekulasi banyak bermunculan, sesuai dengan pertanyaan si ibu yang menyapa saya : “Mbak, saya mau tanya mengapa jama’ah sholatnya dibagi menjadi dua kloter?”

Episode 4.

Terkadang kita sering kali salah prioritas. Termasuk dalam hal ibadah. Sholat dalam contoh nyata. Mana sholat yang wajib dan mana sholat sunnah. Mana yang sebaiknya tak usah itsar, dan mana baiknya yang itsar. Seperti waktu itu, waktu dan tempat masih di episode 3. 3 orang ibu-ibu setengah baya yang sedang sholat magrib “sendiri-sendiri” di pojok ruangan mushola. Pertanyaan pertama, beliau-beliau ini kehilangan kutamaan sholat berjama’ah, padahal ada aturan yang bisa menjama’ahkan sholat yang awalnya sendiri menjadi berjama’ah ketika ada makmum datang.

Kemudian, yang kedua, setelah sholat si ibu masih berlama-lama dengan mukenanya sementara ada banyak akhwat lain sedang menunggu mukena. Waktu ditanya, malah dijawab dengan nada ketus : “Saya mau sunnah dulu”. Hey, bu! Prioritas anda dan dzalim beda-beda tipis.

Sekian 4 episode yang lumrah terjadi di masyarakat kita, yang mengaku muslim namun sayangnya lupa aturan-aturan kemusliman yang sejatinya memudahkan. Mereka mengaku muslim, melaksanakan sholat, tapi hanya sekedar laksana tanpa memahami laku dan esensi dari beribadah tak hanya melepaskan kewajiban diri. Sehingga wajar jika pada dasarnya ingin beribadah, tapi kehilangan berkah, dan yang lebih parah malah dzalim kepada yang lain dalam waktu yang sama. Memang benar ternyata, tidak ada hal yang sulit, yang sulit adalah jika kita yang tak mau menganggapnya mudah, pun dalam hal ibadah. Wallahu’alam..

4 responses to “Fenomena kita.. :)

  1. Duh jadi inget cerita dikampung saya beberapa tahun yang lalu, dulu ada seorang laki-laki. sholat subuh di mesjid, dan kita semua tahu kan berapa raka’at dalam sholat subuh, dan setahu saya tidak di sunahkan bakdiah subuh. si laki-laki ini malah dengan sengaja berkali-kali dalam raka’at sholat subuhnya, kemudian ada salah satu warga yg melihatnya dan menegur “kenapa sholat subuh kok raka’atnya sebanyak itu” kemudian laki-laki ini menjawab “sama Tuhan aja perhitungan”. ini mungkin yg disebut beriman tapi tidak dengan ilmu, ya, put.. 🙂

    • Nah, begitulah kang. Yang put pahami, hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil). Ada beberapa hadist yang menyinggung tentang perkara ini, correct me if I’m wrong ya! yang pernah nyantri kan akang..
      *Ini buka contekan*
      “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).
      “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
      “Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
      “Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).
      “Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43).

Leave a comment